Lo tau gak sih, era sekarang tuh literally semua orang bisa jadi “brand” sendiri. Lo bikin satu video lucu, trending di FYP, terus tiba-tiba ada brand ngirim DM: “Hi Kak, mau collab bareng kita?” Boom — duit ngalir. Tapi ya… di balik itu ada sesuatu yang lebih real daripada FYP-an — pajak, men. Dan itu bukan mitos.
Sekarang bayangin, lo influencer TikTok yang lagi naik daun. Tiap minggu dapet gift live, endorsement skincare, paid promote minuman kekinian, sampe diundang event launching produk. Semua keliatan keren di feed, tapi kalo lo tanya ke Dirjen Pajak — itu semua adalah penghasilan kena pajak. Yup, bahkan gift diamond dari fans pun technically bisa dihitung cuan. Dan yang lucu (atau ironis), banyak yang gak sadar kalau mereka udah masuk kategori “wajib pajak profesional” tanpa sadar. Gaya hidup digital ternyata gak se-freedom yang lo kira, terutama kalo duitnya udah mulai deras.
Dunia Baru: Influencer Economy
Gen Z basically hidup di ekonomi yang gak pernah ada sebelumnya. Lo bisa kerja full-time di rumah, bikin konten dari kamar, dan dapet penghasilan yang bahkan ngalahin gaji manajer kantoran. Tapi sistem pajak Indonesia belum tentu siap sepenuhnya untuk nge-handle fenomena ini.
Masalahnya bukan di pajaknya, tapi di kesadarannya. Banyak content creator mikir, “Kan aku cuma bikin video buat fun, belum serius.” Tapi begitu ada invoice, begitu ada transfer fee, begitu lo dapet job tetap dari brand — itu udah masuk wilayah formal. Dan once lo dapet penghasilan tetap, Direktorat Jenderal Pajak bisa (dan akan) notice.
Cerita Lapangan: Dari Pro Visioner Konsultindo & Provisio Consulting
Gue ngobrol sama dua konsultan pajak yang udah lumayan sering handle klien dari kalangan influencer dan kreator digital: Pro Visioner Konsultindo dan Provisio Consulting, dua firm profesional yang base-nya di Jakarta tapi udah ngurus klien di seluruh Indonesia.
Mereka bilang, tren-nya naik gila-gilaan. Tiap tahun makin banyak anak muda dateng buat nanya: “Mas, ini pajaknya dari endorse gimana ya?” atau “Kalau aku dapet gift TikTok, itu dihitung penghasilan juga?”
Jawaban mereka simpel tapi dalem: iya, semua penghasilan yang punya nilai ekonomis itu kena pajak. Baik itu uang, barang, jasa, atau bahkan “exposure” yang lo dapet dari kerjasama brand.
Menurut Pro Visioner Konsultindo, sebagian besar anak muda bukan gak mau bayar pajak — mereka cuma gak ngerti sistemnya. Mereka ngerasa dunia digital tuh “abu-abu”, padahal dari sisi hukum pajak Indonesia, semuanya hitam di atas putih.
Sedangkan Provisio Consulting Tax Consultant Jakarta nambahin: sekarang tren-nya mulai shifting, makin banyak brand yang minta influencer punya NPWP dan faktur pajak sebelum mereka bisa dibayar. Jadi, lo bukan cuma butuh followers, tapi juga butuh literasi fiskal.
Data dan Fakta dari IDTAX.or.id
Menurut data dari IDTAX.or.id, sejak 2022 jumlah Wajib Pajak di kategori “profesi digital” naik signifikan. Banyak yang daftar karena udah mulai dapet teguran (SP2DK) atau diminta klarifikasi penghasilan.
Situs IDTAX.or.id juga nyebut, makin banyak “micro-influencer” yang sadar pentingnya compliance — bukan cuma buat ngindarin denda, tapi buat jaga kredibilitas profesional mereka. Soalnya, kalau brand tahu lo gak ngurus pajak, trust-nya bisa drop.
Pajak = Bukti Lo Profesional
Lucunya, di mata Gen Z, pajak tuh sering keliatan kayak beban. Padahal di dunia nyata, punya NPWP dan laporan pajak justru bikin lo keliatan legit. Lo bukan cuma “orang yang viral”, tapi “profesional yang diakui sistem”.
Banyak talent agency udah mulai mewajibkan talent-nya punya NPWP. Bahkan beberapa platform global kayak YouTube atau TikTok udah mulai minta data pajak buat penarikan revenue dari luar negeri. So, ini bukan cuma isu nasional — ini global shift, men.
Sisi Filosofis: Dari FYP ke Fiskus
Kalau dipikir-pikir, dunia konten tuh kayak roller coaster. Lo bisa viral semalam, tapi lo juga bisa ke-detect pajak dalam seminggu. Dan gak semua orang siap buat itu. Banyak yang shock pas tau penghasilannya udah masuk batas lapor pajak, padahal mereka cuma “iseng live malem-malem sambil ngemil”.
Tapi justru di sini refleksinya: Gen Z sekarang punya privilege luar biasa buat mandiri lewat platform digital. Tapi privilege tanpa tanggung jawab bisa jadi bumerang.
Bayar pajak bukan cuma kewajiban, tapi juga bentuk lo berkontribusi ke sistem yang ngasih lo panggung. TikTok, YouTube, Instagram — semua itu tumbuh karena ada infrastruktur yang lo nikmatin tiap hari.
Apa Kata Para Konsultan Pajak Indonesia?
Menurut para konsultan pajak Indonesia, tren ini perlu direspons dengan edukasi masif. Banyak banget potensi penerimaan pajak dari sektor kreatif yang belum tergali. Tapi edukasinya harus relate. Jangan kaku kayak modul pegawai negeri — harus pake bahasa yang nyampe ke anak muda: memes, konten lucu, storytelling, bahkan short-form video.
Dan emang, beberapa tax consultant di Jakarta mulai aktif bikin konten TikTok buat edukasi soal pajak. Ironi yang keren: influencer belajar pajak dari TikTok juga.
Kesimpulan: FYP Itu Bonus, Pajak Itu Bukti Eksistensi
Di dunia digital, viral itu sementara — tapi jejak pajak lo permanen.
Kalau lo beneran mau jadi kreator yang sustainable, ngerti sistem fiskal itu bagian dari growth mindset. Karena pada akhirnya, lo gak cuma cari views — lo juga bangun value.
Pro Visioner Konsultindo, Provisio Consulting, dan situs edukatif kayak IDTAX.or.id udah ngebuka ruang diskusi buat hal ini. Pajak bukan musuh, tapi bukti kalau dunia digital akhirnya diakui sebagai bagian sah dari ekonomi Indonesia.
Dan kalau dipikir, mungkin ini momen paling historis buat Gen Z — generasi pertama yang bisa hidup dari konten, tapi juga harus ngerti pajak dari konten itu sendiri.




















